Yogyakarta, MitraKepolisian.com – Pers seringkali dikekang oleh instansi pemerintah maupun masyarakat. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang peran dan fungsi media dalam demokrasi. Munculnya Rancangan Undang-Undang Kepolisian (RUU POLRI) menambah kompleksitas situasi ini.
Ketua Indonesian Journalist Watch HM Jusuf Rizal, SH, SE, M.Si mengungkapkan hal itu dalam Diskusi bertajuk “Kebebasan yang Terampas: RUU Polri dan Dampak dalam Akses Media” di Aula Museum Sandi Kotabaru, Yogyakarta, Jumat (12/7/2024).
Menurut Jusuf Rizal, media memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan dengan memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah. Media harus mendorong POLRI untuk meningkatkan kesiapan dalam melakukan penyadapan secara objektif dan menghindari pemanfaatan oleh kelompok kepentingan yang merugikan masyarakat.
“Aturan yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa kewenangan yang diberikan kepada POLRI tidak disalahgunakan. Media juga harus berkontribusi dalam meningkatkan pemahaman publik tentang pentingnya kebebasan pers dan peran media dalam demokrasi. Ini akan membantu menghindari kekangan yang tidak perlu dan memastikan bahwa media dapat berfungsi sebagai pengawas yang efektif dalam masyarakat,” cetus Jusuf Rizal yang juga Ketua Umum Persatuan Wartawan Media Online Indonesia (PWMI).
Pada kesempatan sama, Nugroho Fery Yudho selaku Dewan Pembina Aliansi Jurnalis Video menambahkan, RUU POLRI memunculkan berbagai kekhawatiran terkait kewenangan dan fungsi POLRI.
Beberapa aspek yang patut dicermati, misalnya draft RUU tidak masuk dalam Prolegnas 2024 oleh DPR sebagai RUU inisiatif.
“Hal ini menimbulkan masalah karena DPR sering kali merancang RUU yang sebenarnya bukan bagian dari wewenangnya, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa RUU ini ada karena titipan tertentu,” ungkap Nugroho.
Selain itu, lanjut Nugroho, POLRI sering digunakan oleh penguasa untuk memperkuat posisinya. Keterlibatan POLRI dalam kenaikan jabatan penguasa memperkuat dugaan bahwa RUU ini merupakan bentuk balas budi terhadap POLRI. Anggaran POLRI yang terus meningkat hingga 173 triliun rupiah dan disetujui oleh DPR semakin memperkuat dugaan ini.
“Juga, dalam masa transisi DPR seharusnya tidak merancang undang-undang yang substansial. Terdapat 10 pasal yang belum diubah dalam RUU ini, dan empat di antaranya menjadi sorotan terkait intelijen keamanan. Kedudukan POLRI dalam UU tersebut seolah-olah menjadi intelijen untuk kepentingan nasional, bukan keamanan, yang memperluas peran POLRI secara signifikan,” terang eks jurnalis Kompas itu.
Selain Jusuf dan Nugroho, turut hadir mempresentasikan gagasan adalah Ketua Komisi Penyiaran Daerah DIY Hazwan Iskandar Jaya dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UII Prof Dr rer soc Masduki, SAg Msi dengan moderator Pamuji Raharjo, SSos, MPA.
Kedua narsumber tersebut juga menyampaikan gagasan senada, mengkritisi RUU POLRI dan mengharapkan munculnya kekuatan prodemokrasi di tingkat masyarakat bawah. (R Toto Sugiharto)