banner 728x90

Tragedi ’98 Tak Pernah Ingkar, tapi Rezim yang Selalu Berkhianat

JAKARTA, pada 12 Mei 1998 atau 27 tahun lalu, adalah hari hari paling mencekam di Simpang Grogol, Jakarta Barat.

Itu adalah pertama kali saya melihat “tawuran” yang serius antara militer dengan mahasiswa (Trisakti).


Saya menyebutnya tawuran, karena selama menjadi warga Jakarta Barat, beberapa kali saya menyaksikan tawuran antar warga, tawuran antar pelajar, dan Mei 98 saya melihat tawuran antar militer dan mahasiswa.

Saya menyaksikan militer (ABRI/TNI) saat itu didukung dengan peralatan serbu lengkap dan dapat memukul mundur mahasiswa untuk masuk ke dalam kampus.

Bagi kami yang tinggal di deket Grogol, kami dapat menceritakan detil kejadian tersebut, karena bisa dibilang kamilah saksi sejarah itu, dan mahasiwa Trisakti itu adalah pelaku sejarah tragedi Trisakti.

Di hari hari kelam itu, kami menyaksikan kepulan asap membubung tinggi di langit grogol, suara desingan senapan bapak bapak militer pun terdengar di telinga warga sekitar.

Namanya juga warga Indonesia, ada tragedi bukanya sembunyi malah maju mencari tahu, dan akhirnya kami paham itu adalah petaka pergantian rezim.

Kami menjadi tau jika rezim yang ada saat itu adalah rezim corrupt yang harus ditumbangkan, kami tau pelanggaran HAM terjadi sebelum dan sesudah persitiwa di Kampus Trisakti tersebut.

Dan kami tau akhirnya jika Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie tewas di tangan militer yang beringas menyerbu kampus Trisakti.

Melalui kabar berita kami tahu ada di tempat lain yang tewas dan hilang belum kembali hingga saat ini. Dan akhirnya kami tahu jika rezim Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998.

Dari Trisakti menuju Semanggi

Menjadi satu rangkaian setelah berhari-hari Jakarta menjadi begitu mencekam, berbulan bulan mahasiswa dan rakyat melakukan perlawanan.

Dari Trisakti menuju Semanggi adalah moment krusial dalam sejarah gerakan rakyat di Jakarta.

Tragedi Semanggi I terjadi di depan kampus Universitas Atmajaya dan area-area simpang susun Semanggi Jakarta pada 13 November 1998.

Tragedi itu terjadi di tengah kuatnya gelombang demonstrasi mahasiswa dan rakyat biasa.

Mereka menolak pejabat dan politisi era Orde Baru yang masih berkuasa, menuntut pengadilan atas mereka, menuntut pembatasan masa jabatan Presiden, dan juga menentang dwifungsi ABRI (kini TNI)

Dalam aksi unjuk rasa di Semanggi ini, negara melakukan tindakan yang powerfull dalam menghadapi massa aksi.

Represif terhadap demonstran dilakukan dengan pengerahan kekuatan yang eksesif, kekerasan, dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan.

Dalam siaran pers Tim Relawan untuk Kemanusiaan terkait Tragedi Sidang Istimewa MPR Tanggal 10-13 November 1998 menyebutkan bahwa sebanyak 17 warga sipil tewas dan 456 lainnya terluka dalam Tragedi Semanggi I.

Setahun kemudian, kekerasan berdarah juga terjadi pada Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 dengan menewaskan 11 warga sipil dan 217 lainnya menjadi korban luka.

Sejumlah polisi dan tentara diadili akibat insiden penembakan Tragedi Semanggi I dan II, namun pengadilan terhadap mereka gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.

Tragdi ini Tak Pernah Ingkar Janji, Rezim-lah yang Selalu Menghianati

Kita melihat tragedi Trisakti hingga Semanggi I adalah salah satu simbol dari perjuangan rakyat demi terwujudnya reformasi di Indonesia.

Salah satu pencapaian besar dari reformasi ini adalah lahirnya instrumen hukum untuk mengadili pelanggaran HAM, yaitu Pengadilan HAM, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Pengadilan HAM yang kita harapkan sejatinya menjadi tumpuan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, termasuk dalam kasus Tragedi Semanggi I, yang menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat.

Namun, dua dekade setelah undang-undang tersebut disahkan, harapan akan adanya keadilan bagi para korban Tragedi Semanggi I dan korban pelanggaran HAM lainnya justru tidak terwujud. Hingga hari ini, rezim telah berganti, namun penyelesaian kasus atas tragedi ini selalu di ingkari.

Entah sampaikan kepulan asap gelap tragedi ini akan menjadi terang benderang, kita setia menunggu yang gelap jadi terang.

Robi Maulana
Aktivis Reformasi 1998 / Koordinator Program Gerak Jakarta / Warga Jakarta Barat

Mau punya Media Online sendiri?
Tapi gak tau cara buatnya?
Humm, tenang , ada Ar Media Kreatif , 
Jasa pembuatan website berita (media online)
Sejak tahun 2018, sudah ratusan Media Online 
yang dibuat tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia.
Info dan Konsultasi - Kontak 
@Website ini adalah klien Ar Media Kreatif disupport 
dan didukung penuh oleh Ar Media Kreatif
banner 728x90