
Oleh: Dwi Taufan Hidayat
BANYAK orang beranggapan bahwa menasihati atau menyampaikan ceramah agama sudah cukup untuk membuat orang lain berubah.
Padahal, kunci utama dari perubahan itu bukan pada banyaknya kata-kata yang kita sampaikan, melainkan pada seberapa dalam kita mampu menyentuh hati kita sendiri terlebih dahulu.
Sebab, kalam yang lahir dari hati yang jernih akan lebih mudah menembus hati yang lain.
Jika nasihat hanya digunakan untuk menyindir orang lain, bukan untuk memperbaiki diri, maka kata-kata itu akan terasa hambar dan tak lagi menyejukkan. Bahkan, bisa jadi malah menyakiti tanpa kita sadari.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (٣)
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2-3)
Ayat ini mengajarkan kepada kita agar selalu selaras antara ucapan dan perbuatan. Jangan sampai kita rajin menasihati orang lain, tetapi lupa mengoreksi diri sendiri. Sebab, keikhlasan lahir dari kesadaran bahwa kita pun manusia yang penuh khilaf, bukan hakim yang sibuk mengadili kesalahan orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Betapa banyak orang yang pandai berbicara, tetapi gagal menjaga lisannya dari menyakiti hati saudaranya. Betapa sering kita merasa sudah memberi ‘peringatan’ lewat status, tulisan, atau ceramah, padahal di balik itu terselip keangkuhan dan rasa ingin terlihat lebih suci. Kita lupa, mungkin justru kitalah yang paling butuh nasihat itu.

Salah satu kunci ketenangan hati adalah terus menerus mengevaluasi diri. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang.” Kalimat sederhana, tetapi sarat makna. Bila kita sungguh-sungguh introspeksi, kita akan lebih sibuk memperbaiki aib sendiri daripada sibuk menyoroti kekurangan orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang merasa teraniaya oleh ucapan orang lain. Ironisnya, kita sendiri sering tak sadar bahwa ucapan kita bisa melukai. Kadang, kita merasa sudah benar hanya karena merasa ‘lebih paham agama’, padahal akhlak dan kelembutan hati lebih utama daripada sekadar pengetahuan lisan.
Allah juga berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan ‘salam’.” (QS. Al-Furqan: 63)
Ayat ini mengajarkan kita untuk membalas keburukan dengan kebaikan, bukan dengan sindiran yang membakar hati. Kesabaran dan kerendahan hati adalah pakaian yang jauh lebih indah daripada kata-kata sindiran yang kita kira menegur, padahal hanya melukai.
Menjadi manusia yang penuh introspeksi memang tidak mudah. Kita butuh keberanian untuk mengakui kesalahan dan mengubah perilaku. Fokuslah pada memperbaiki diri, karena hanya dengan cara itu kita akan menjadi cermin yang jernih, bukan sekadar tongkat sindiran.
Mari kita renungkan, sudah berapa banyak kata kita yang melukai? Sudah berapa banyak sindiran yang tidak menyadarkan siapa pun, justru menambah jarak? Sudahkah kita menjadi contoh yang baik sebelum menuntut orang lain menjadi lebih baik?
Jangan jadikan nasihat sebagai senjata untuk merendahkan, tetapi jadikan ia sebagai lentera untuk menerangi kegelapan hati sendiri terlebih dahulu. Dengan begitu, kita tidak akan sibuk mengubah orang lain, melainkan akan sibuk mendidik jiwa sendiri agar semakin dekat dengan Allah.
Semoga Allah selalu membimbing lisan, hati, dan perbuatan kita agar selaras dalam kebaikan. Aamiin.