PEKANBARU, MITRAKEPOLISIAN – Pengamat Hukum dari Universitas Riau Erdiansyah menilai polemik lahan di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan bukanlah pidana dan kasus ini hanya bisa diselesaikan secara perdata.
“Karena masyarakat yang tergabung dalam koperasi mengaku punya SKGR di lahan itu, perusahaan juga,” kata Erdiansyah, Senin (29/3/2021).
Polemik eksekusi lahan di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan sendiri masih berkepanjangan. Ada dua putusan Mahkamah Agung terkait 3.323 hektare lahan di sana, pertama soal pidana yang kemudian dieksekusi oleh kejaksaan setempat dan petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau.
Kedua adalah putusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan MA setelah putusan pidana. MA menyatakan surat perintah tugas eksekusi lahan sebagai tindak lanjut putusan pidana tidak sah atau batal.
Surat perintah eksekusi itu diterbitkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau. Dengan dasar surat yang dinyatakan tidak sah itu, petugas DLHK dan kejaksaan setempat menumbangkan sawit milik masyarakat.
Hingga kini sudah ada 2.000 hektare lahan dieksekusi. Eksekusi ditunda karena ada perlawanan dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kebun sawit di sana.
Persoalan kian panjang setelah Polda Riau turun ke desa itu. Penyidik mengusut dua koperasi, Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti, dengan dugaan penyerobotan lahan serta panen buah sawit secara ilegal.
Polda Riau juga mengusut PT Peputra Supra Jaya (PT. PSJ) karena menerima panen sawit masyarakat yang tergabung dalam koperasi itu. Adapun penyidikan ini berdasarkan laporan PT Nusa Wana Raya.
Erdiansyah menyatakan, SKGR merupakan alas hak yang diakui oleh negara. Sehingga kepemilikan lahan oleh masyarakat dengan perusahaan yang juga mengaku punya alas hak harus diuji secara formil di pengadilan.
Di pengadilan, majelis hakim akan memutuskan siapa yang berhak atas lahan itu. Jika keputusan keperdataan sudah berkekuatan hukum tetap, maka selanjutnya dilakukan eksekusi.
“Keperdataan ini harus didudukkan, kalau belum duduk soal perdatanya, masyarakat masih berhak,” ucap Erdiansyah.
Sementara terkait penyidikan yang dilakukan Polda Riau, Erdiansyah menyebut penyidik harus membuktikan apakah betul-betul terjadi penyerobotan. Pasalnya, masyarakat di lahan tengah berpolemik itu punya SKGR.
Erdiansyah menyebut penyerobotan lahan dilakukan oleh orang yang tidak punya legalitas atau alas hak. Namun jika ada surat seperti SKGR, maka tidak patut disebut sebagai penyerobotan.
“Penyerobotan itu bertanam di lahan orang, bertanam tanpa punya alas hak, kalau ada surat berarti bukan penyerobotan” sebut Erdiansyah.
Di sisi lain, Erdiansyah menyebut masyarakat masih punya hak atas hasil tanaman yang ditanam. Pasalnya masyarakat berkebun atas dasar SKGR sebagai alas hak.
Bagi Erdiansyah, persoalan SKGR tidak bisa diselesaikan secara pidana. Oleh karena itu, dia menyarankan pihak yang merasa dirugikan harus melakukan gugatan perdata.
“Kalau nanti sudah ada putusan perdata, silahkan eksekusi,” tegas Erdiansyah.
Sementara itu, Kuasa Hukum PT Peputra Supra Jaya (PSJ) melalui Wiria Nata Atmaja dari kantor hukum Asep Ruhiat dan Partners saat dikonfirmasi menjelaskan berdasarkan proses hukum yang ada pihaknya justru merasa sedih.
“Sebab, seharusnya PT Nusa Wana Raya (NWR) yang diproses secara hukum bersama Dinas LHK,” kata Wiria didampingi Aswam dan Feri Adi Pransista.
Bukan tanpa sebab, Wiria menduga PT NWR dan Dinas LHK Riau diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum perusakan dengan membabat habis kebun sawit yang lagi produktif, bahkan meratakannya.
“Sekarang kami lagi menyiapkan gugatan ganti rugi mudah-mudahan tidak lama lagi keadilan bisa berpihak pada yang benar,” tuntas Wiria. (Sadri)