JAKARTA – Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengaku miris karena hingga saat ini pendapatan para pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia masih pas-pasan, bahkan jauh dari cukup.
Lily menilai hal ini karena belum ada regulasi pemerintah yang berpihak kepada pengemudi ojol.
Sempat ada angin segar ketika keluar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 telah menurunkan potongan aplikator (biaya sewa penggunaan aplikasi) menjadi 15 persen dari sebelumnya 20 persen.
“Namun aturan ini dirubah kembali melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022, alias hanya dalam waktu 2 bulan kemudian,” ujar Lily dalam keterangannya kepada awak media di Jakarta, Sabtu (1/4/2023).
Menurut Lily, potongan aplikator tersebut sama saja dengan sebelumnya, atau kembali dari 15 persen menjadi 20 persen.
“Perubahan ini mengikuti kemauan aplikator ketimbang mensejahterakan pengemudi ojol,” ungkapnya.
Walaupun sudah ditetapkan maksimal 20 persen, jelas Lily, tapi tetap saja aplikator melanggar ketentuan tersebut dengan melakukan potongan kepada pengemudi ojol lebih dari 20 persen.
Potongan yang memberatkan pengemudi ojol tersebut di kisaran 22 hingga 40 persen dalam setiap orderan.
Lily juga menjelaskan praktik yang merugikan pengemudi ojol ini terjadi karena status mitra yang melekat pada pengemudi ojol. Aplikator untuk meraih profit yang sebesar-besarnya menghindar untuk mempekerjakan pengemudi ojol dengan status pekerja.
Sehingga aplikator tidak memenuhi hak-hak pengemudi ojol sebagai pekerja seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Inilah yang menyebabkan pengemudi ojol mengalami ketidakpastian pendapatan karena tidak ada jaminan pendapatan bulanan seperti upah minimum yang layak. Karena itu juga pengemudi ojol dipaksa untuk bekerja lebih dari 8 jam kerja, bahkan hingga 17 jam,” papar Lily.
Terlebih bagi pengemudi ojol perempuan, Lily Menilai kondisi eksploitatif ini semakin buruk karena tidak adanya cuti haid, melahirkan, dan menyusui. Praktis pengemudi ojol perempuan kehilangan pendapatan karena dihitung tidak bekerja (off bid).
“Hak untuk mendirikan serikat pekerja otomatis hilang. Padahal ini penting agar bila terjadi perselisihan dapat diselesaikan melalui perundingan. Sehingga aplikator tidak semena-mena melakukan putus mitra (PHK) terhadap pengemudi ojo,” tuntas Lily.