Oleh: Dwi Taufan Hidayat
SETIAP anak adalah dunia yang unik. Mereka membawa cahaya dari langit Ilahi yang menunggu untuk bersinar pada waktu yang telah ditentukan oleh-Nya. Dalam dunia yang kerap memuja hasil instan, kita sering lupa bahwa kilau sejati tak selalu muncul cepat. Ia muncul saat hati, proses, dan takdir bertemu dalam satu irama yang agung.
Ungkapan ini menyimpan makna yang dalam dan menenangkan: setiap anak memiliki potensi luar biasa di dalam dirinya, namun tidak semuanya menunjukkan keistimewaannya pada waktu yang sama. Ada yang cepat bersinar sejak kecil, ada pula yang baru menemukan jalannya setelah melewati banyak proses, kegagalan, dan pencarian.
Penting bagi orang tua, guru, dan masyarakat untuk menyadari bahwa perkembangan tiap anak itu unik. Menilai mereka dengan standar yang sama hanya akan menciptakan tekanan dan rasa tidak cukup. Sebaliknya, ketika kita memberi ruang, waktu, dan kepercayaan, mereka akan tumbuh dalam ritmenya sendiri dan menunjukkan cahaya mereka saat waktunya tiba.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an, sebuah ayat yang menjelaskan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan ukuran, termasuk waktu terbaik untuk setiap manusia tumbuh dan menonjol:
وَكُلُّ شَيْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ
“Dan segala sesuatu di sisi-Nya ada ukurannya.” (QS. Ar-Ra’d: 8)
Setiap anak memiliki takaran waktunya sendiri. Ada yang menulis puisi di usia sepuluh, ada yang memahami makna hidup di usia tiga puluh. Ada yang lancar membaca Al-Qur’an saat masih TK, ada pula yang baru terbuka hatinya untuk mencintai Al-Qur’an setelah dewasa.
Rasulullah ﷺ pun tidak memaksakan pertumbuhan para sahabatnya. Beliau membimbing dengan kasih sayang, memahami bahwa setiap jiwa tumbuh dengan kadar iman dan pengalamannya masing-masing.
Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا النَّاسُ كَالْإِبِلِ الْمِائَةِ، لَا تَكَادُ تَجِدُ فِيهَا رَاحِلَةً
“Sesungguhnya manusia itu seperti seratus unta; sangat jarang engkau menemukan di antara mereka satu yang pantas menjadi tunggangan (pemimpin).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengingatkan kita bahwa keistimewaan tidak selalu tampak di permukaan, dan tidak semua orang akan menonjol pada saat yang sama atau dengan cara yang sama. Maka tak layak kita membandingkan satu anak dengan anak lainnya.
Sayangnya, hari ini banyak orang tua yang terlalu tergesa. Anak dibandingkan dengan sepupu, tetangga, atau bahkan anak dari dunia maya. Mereka tak sadar bahwa tekanan seperti itu justru mengubur potensi. Padahal Rasulullah ﷺ pernah memperlakukan anak-anak dengan begitu lembut dan bijak.
Dalam riwayat Abu Dawud, Anas bin Malik berkata:
خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، وَاللَّهِ مَا قَالَ لِي أُفٍّ قَطُّ
“Aku telah melayani Nabi ﷺ selama sepuluh tahun, demi Allah, beliau tidak pernah berkata ‘Ah’ kepadaku sekalipun.” (HR. Abu Dawud)
Jika Rasulullah ﷺ, manusia paling mulia, bersabar atas segala kekurangan anak kecil, mengapa kita sering tidak sabar terhadap anak-anak kita sendiri?
Setiap anak ibarat bintang di langit. Ada yang segera bersinar saat malam baru tiba, ada pula yang muncul menjelang fajar. Tapi tak satu pun dari mereka gagal menjadi indah.
Kita harus ingat bahwa tugas kita bukan memaksa cahaya mereka segera bersinar, tetapi menjaga agar cahaya itu tidak padam oleh luka perbandingan, ekspektasi yang membebani, atau label-label yang menyakitkan.
Al-Qur’an menyentuh aspek ini secara halus dan penuh kelembutan:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini bukan hanya tentang kewajiban syariat, tapi juga tentang pendekatan kita terhadap anak-anak. Kita tidak boleh membebani mereka dengan mimpi kita yang tak tercapai. Biarkan mereka menemukan jalannya sendiri dengan bimbingan, bukan paksaan.
Mari kita belajar dari bijaknya Lukman dalam mendidik anak, yang nasihatnya diabadikan dalam Al-Qur’an:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Wahai anakku, dirikanlah salat, suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf, dan cegahlah dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.” (QS. Luqman: 17)
Nasihat Lukman bukan perintah kaku, tapi nasihat yang lahir dari cinta. Ia tidak hanya menyuruh, tapi mendidik dengan hati.
Maka, tugas kita sebagai orang dewasa bukanlah menjadi pengawas yang selalu menuntut hasil, tapi menjadi penjaga cahaya: menjaga agar tidak redup, tidak padam, dan tidak patah.
Setiap anak punya waktunya. Jangan curi cahaya mereka hanya karena kita tidak sabar menanti fajar.
Biarkan mereka tumbuh dengan tenang.
Biarkan mereka bersinar ketika langit hidup mereka telah siap.
Karena semua anak, insyaAllah, akan bersinar pada waktunya.