banner 728x90

Ketika Menteri Baru (Telat) Lihat Peta

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

SAAT kabar tambang nikel di Raja Ampat tiba-tiba mengejutkan para menteri, publik pun hanya bisa tertawa getir. Bagaimana mungkin para pemegang kekuasaan bisa begitu terkejut terhadap sesuatu yang sudah berlangsung sekian lama? Inilah potret pengelolaan sumber daya kita yang absurd: gaduh saat ramai, diam saat rugi.


Raja Ampat, yang selama ini dikenal sebagai surga bahari dengan keanekaragaman hayati laut terbaik dunia, kini dirundung ironi. Seperti film komedi gelap, muncul adegan tak terduga: para menteri yang seharusnya tahu segalanya tentang wilayah dan kekayaan negeri, justru “kaget” bahwa ada tambang nikel yang telah mengoyak tubuh alam Raja Ampat. Hebatnya lagi, tambang ini bukan baru kemarin sore dibangun. Ia sudah beroperasi. Sudah merusak. Sudah nyata.

Pertanyaan pertama yang spontan muncul adalah: selama ini, mereka baca laporan apa? Peta versi siapa? Pakai drone apa kacamata kuda?

Jika seorang tukang becak atau pedagang asongan tak tahu ada tambang di Raja Ampat, itu wajar. Tapi jika seorang menteri yang memegang tanggung jawab atas lingkungan, investasi, energi, kehutanan, dan sumber daya mineral tidak tahu, lalu untuk apa mereka duduk di kursi empuk ber-AC itu? Atau barangkali bukan mereka yang tidak tahu. Mungkin hanya berpura-pura kaget, agar drama ini tampak meyakinkan.

Inilah bukti bahwa transparansi pengelolaan sumber daya di negeri ini masih jauh panggang dari api. Sistem perizinan tambang yang semestinya ketat dan terkontrol ternyata bisa lolos begitu saja bahkan di tempat yang dilindungi, bahkan di kawasan yang disebut-sebut warisan dunia, bahkan di wilayah yang para wisatawannya tak boleh menyentuh karang, tapi ekskavator bisa menggali tanpa ragu.

Satu dekade terakhir, industri tambang telah menjelma jadi raksasa yang menginjak-injak prinsip konservasi. Yang aneh, sering kali negara menjadi kaki tangan raksasa itu, bukan penegaknya. Tambang di Raja Ampat bukan semata soal ekologi, tetapi juga soal logika. Sebab, jika pemerintah sendiri tak tahu atau pura-pura tak tahu, siapa lagi yang bisa publik percaya?

Ada ironi yang tidak bisa ditoleransi: di satu sisi negara membanggakan destinasi wisata seperti Raja Ampat untuk menarik devisa dari pariwisata ramah lingkungan, di sisi lain negara diam saja ketika aktivitas ekstraktif berjalan dengan rakus dan membabi buta. Maka, jangan salahkan publik bila melihat aksi “terkejut” para menteri sebagai sinisme, bukan simpati.

Kekagetan ini membuka banyak kotak Pandora: siapa yang menerbitkan izin? Apakah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dilakukan secara jujur? Bagaimana keterlibatan Pemda dan DPRD? Dan yang tak kalah penting: mengapa masyarakat lokal baru didengar ketika suara mereka sudah tertindih debu tambang?

Perlu dicatat, setiap kali ada konflik antara pelestarian alam dan industri tambang, yang menang biasanya bukan logika. Tapi lobi. Bukan suara rakyat. Tapi kuasa modal. Ketika tambang nikel bisa masuk hingga ke kawasan hutan lindung di Papua Barat tanpa kegaduhan sebelumnya, kita sedang menyaksikan kisah sedih tentang supremasi ekonomi atas ekologi.

Sikap kaget para menteri seolah ingin mencuci tangan. Tapi publik tak mudah dibodohi. Kita tahu bahwa izin tambang tidak mungkin muncul tiba-tiba seperti jamur di musim hujan. Ia produk dari proses birokrasi panjang yang ironisnya mereka sendirilah pelaku atau penandatangannya.

Lebih menyakitkan lagi, tambang ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial masyarakat lokal. Suku-suku di Raja Ampat tidak hanya kehilangan hutan dan lautnya, tapi juga kehilangan hak suara. Ketika tanah leluhur diobral atas nama pembangunan, maka sesungguhnya kita sedang menggadaikan harga diri bangsa.

Maka jangan heran jika nanti ada “kekagetan” berikutnya: menteri kaget ada tambang di pegunungan Cyclops, menteri kaget hutan lindung dijadikan kawasan industri, atau menteri kaget pulau-pulau kecil dijual. Ini bukan hanya tentang tambang di Raja Ampat. Ini tentang mentalitas pejabat yang hanya aktif ketika kamera menyala dan berita viral, lalu hilang ketika rakyat menangis.

Apa gunanya rencana pembangunan berkelanjutan jika dalam praktiknya kita justru merusak habitat yang paling rapuh? Apa gunanya RPJMN dan dokumen rencana strategis jika keputusan kunci dibuat diam-diam, tanpa akuntabilitas publik?

Dan ketika semua telah rusak, yang tersisa hanyalah penyesalan dan permintaan maaf yang datang terlambat. Tapi bagi alam, tidak ada maaf. Kerusakan ekologis tidak mengenal permakluman. Ia akan menghantui kita dalam bentuk bencana, kelangkaan, konflik sosial, dan hilangnya identitas budaya.

Saat ini, publik tak butuh drama kekagetan. Publik butuh kejujuran. Butuh audit menyeluruh. Butuh pencabutan izin yang menyalahi prinsip konservasi. Butuh pemulihan ekosistem secara konkret. Dan yang paling penting: publik butuh jaminan bahwa kejadian Raja Ampat tidak akan jadi template untuk tragedi berikutnya.

Karena jika pejabat kita hanya terlatih untuk pura-pura kaget, maka negeri ini akan terus terkejut saat rusak, tapi tidur saat hancur.

Selamat datang di republik kejut. Negeri yang tiap bencana harus dimulai dengan akting.

Mau punya Media Online sendiri?
Tapi gak tau cara buatnya?
Humm, tenang , ada Ar Media Kreatif , 
Jasa pembuatan website berita (media online)
Sejak tahun 2018, sudah ratusan Media Online 
yang dibuat tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia.
Info dan Konsultasi - Kontak 
@Website ini adalah klien Ar Media Kreatif disupport 
dan didukung penuh oleh Ar Media Kreatif
banner 728x90